“Jika kebahagiaan sejati telah menemukanmu,
buka dan bacalah...”
Aku berdiri dibibir pantai. Angin musim panas begitu setia
membelai syal kusam berwarna hijau tua yang melingkar dileherku. Sejak tadi,
aku menatap satu titik yang sama. Bahkan sejak dulu. Titik dimana, terakhir kali
aku melihatnya.
Dia pergi membawa semua yang dulu aku miliki. Tanpa sisa. Ia
membawa hatiku, jiwaku, dan cintaku bersamanya. Lalu, apa yang ia berikan
padaku? Hanya selembar kertas yang kini sudah usang dimakan usia. Warnanya ikut
menguning. Sewarna dengan seutas pita yang mengikat sisi kertas yang tergulung
dalam sebuah botol susu ditanganku ini.
Kalimat terakhir yang diucapkannya sebelum pergi itu, seakan menjadi
kunci untuk membuka tutup botol berisi selembar surat ini. Kalimat yang membuatku
sampai selama ini, tak bisa membukanya.
Dulu aku tidak tahu, kebahagiaan macam apalagi yang bisa aku
miliki selain bersama dengannya. Toh, ia sudah membawa semua yang aku
miliki. Yang aku tahu, kebahagiaanku adalah bisa bersama dengannya. Selamanya.
Tapi, dia pergi.
Senja terakhir aku melihatnya adalah sepuluh puluh tahun silam.
***
3 Oktober 2005
Dong Gu menatapku penuh kehangatan. Bibirnya tersenyum seakan
tidak peduli akan rasa sesak yang mulai menjalar disekujur tubuhku. Ia adalah
seorang pemuda asal Korea Selatan yang entah sejak kapan membuatku jatuh hati.
Lalu kami berdua menjalani kisah yang saling tertaut tanpa mengucapkannya sama
sekali.
Dan hari ini, ia akan pergi. Kembali ketanah kelahirannya.
Meninggalkan kisahnya dipesisir Honsu. Dan tentu saja, meninggalkan kisah kami.
“Apa, kau akan kembali?” pertanyaan itu meluncur begitu saja dari
bibirku. Walau aku tahu dengan jelas jawabannya.
“Aku tidak tahu. Tapi aku berharap, aku bisa kembali.” jawabnya,
persis seperti yang aku pikirkan.
Air mataku mulai tergenang. Dong Gu kembali tersenyum lalu kurasakan
tangannya menyentuh hangat pipiku. “Hajima (Jangan menangis). Aku tahu
saat ini takdir mungkin sedang mempermainkan hidup kita. Tapi akan datang saat
dimana takdir membiarkan kebahagiaan untuk menemukan kita.”
Aku mendongak menatapnya. Wajahnya yang sudah tak seputih saat
pertama kali aku mengenalnya, yang aku yakini karena ia terlalu sering
tersengat sinar matahari, tapi tetap saja terlihat bercahaya olehku. Beberapa
detik berikutnya, ia mengeluarkan sesuatu dari dalam saku jaket kusam yang
dipakainya.
“Simpanlah ini. Aku belum punya apa-apa untuk diberikan padamu.”
Ucapnya sembari menyodorkan sebuah botol berisi gulungan kertas yang terikat
seutas pita. “Jika kebahagiaan sejati telah menemukanmu, buka dan bacalah...”
lanjutnya lagi.
Aku mengerling tidak mengerti. Baik aku ataupun ia, kami tahu
betul apa yang kami rasakan. Jika ia mengatakan hal itu padaku, berarti
kebahagiaanku adalah saat bersama dengannya. Lalu, jika ia pergi, berarti aku
tidak akan pernah merasa bahagia dan dengan begitu aku juga tidak akan pernah
tahu apa isi surat itu.
“Berjanjilah, kau hanya boleh membuka dan membacanya jika kau
benar-benar sudah merasa bahagia.” Kalimat penegasan itu terdengar seperti sebuah
permohonan.
Dan aku yang begitu meyakininya, mengangguk begitu saja. Kamipun,
akhirnya terpisahkan jarak dan waktu tanpa tahu kapan takdir akan mempertemukan
kami kembali.
***
Setelah hari itu, aku tidak pernah bertemu lagi dengannya. Seperti
janjiku padanya, aku tidak akan membuka botol berisi surat itu sebelum
menemukan kebahagiaanku sendiri. Kebahagiaanku tanpanya.
Aku kembali menatap kedalam botol pemberiannya. Lalu tersenyum
simpul. Hari ini, sudah cukup aku menunggu. Sudah cukup aku dilanda rasa
penasaran tentang apa yang dikatakannya dalam suratnya. Bukan karena aku ingin
melanggar janjiku, melainkan karena kebahagiaan telah menemukanku. Atau lebih
tepatnya, aku telah menemukan kebahagiaanku.
Aku membuka tutup botol yang terbuat dari kayu itu. Kemudian
perlahan mengeluarkan gulungan kertas didalamnya. Pita pengikatnya sudah
benar-benar usang. Dengan pelan, aku membuka gulungan kertas berwarna kuning
kering itu dan tersenyum melihat tulisan tangan seorang nelayan pesisir yang
sedikit berantakan. Aku tertawa kecil.
Lalu, aku mulai membacanya...
Kimi~chan... Aku tidak tahu bagaimana harus memulainya. Aku
terlalu takut untuk menyakitimu. Aku terlalu pengecut untuk berbicara padamu
secara langsung. Sampai akhirnya, aku memutuskan untuk menulis semuanya pada
selembar kertas ini. Yang entah kapan, bisa kau baca.
Aku akan kembali ke Busan. Ibuku jatuh sakit. Sakit keras. Sangat
keras. Pamanku menyampaikan pesannya padaku. Ia memintaku kembali ke Busan.
Lalu... menikah dengan gadis pilihannya.
Kau boleh marah. Tapi aku mohon, jangan menangis.
Jangan menangis karena lelaki sepertiku. Aku tak pantas untuk kau
tangisi.
Kita tahu, bagaimana perasaan kita masing-masing. Aku, sangat
mencintaimu. Walau tak pernah aku katakan, aku yakin kau tahu itu. Begitupun
aku yang meyakini, kalau kau juga mencintaiku.
Aku tak ingin menyakitimu. Aku tak ingin melihatmu menangis membenciku
saat kita berpisah. Karena itu, aku memintamu membaca surat ini saat kau sudah berbahagia. Agar kisah kita
tidak menyiksamu selamanya...
Aku tahu aku egois. Tapi, hanya ini yang bisa aku lakukan. Untuk
kebahagiaanmu.
Maafkan aku, dan... selamat tinggal, Kimi~chan...
“Kimiko, hari sudah sore. Ayo kita pulang...”
Aku menoleh dan mendapati suamiku menjulurkan tangannya padaku.
Aku tersenyum lalu meraih tangannya. Seperti janjiku, aku akan membaca surat
itu jika aku telah menemukan kebahagianku. Dan sekarang, aku telah
menemukannya.
The End
Tidak ada komentar:
Posting Komentar